Kewajiban Seorang Saksi dan Yang Tidak Berhak Menjadi Saksi Karena Profesinya
H. Aspihani Ideris, S.AP, SH, MH (foto internet
BANJARMASIN; sinarbanua.com | SETIAP warga negaranya wajib melaksanakan dan memenuhi panggilan atau diminta untuk menjadi saksi untuk memberikan keterangan atas suatu perkara yang terjadi. Menurut pasal 1 angka 26 KUHAP, disebutkan, saksi adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri”.
Kewajiban menjadi saksi itu diatur dalam undang-undang pasal 159 ayat (2) KUHAP “Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku”.
Meskipun begitu, ternyata ada beberapa profesi yang berhak menolak untuk memberikan keterangan karena memang diwajibkan untuk tidak membuka rahasia yang diketahui.
Adapun dasarnya pada pasal 322 ayat (1) KUHP “siapapun yang dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan/ pencahariannya bisa dipidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda”.
Berikut penjelasannya sebagainya di bawah ini:
1. Wartawan; Wartawan memiliki hak tolak. Dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Hak Tolak adalah hak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan menjalankan amanat UU Pers, sehingga berkonsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya. Oleh karena itu wartawan dapat menolak untuk memberikan keterangan kepada penyidik.
2. Dokter; Informasi yang diketahui oleh dokter pada saat melakukan pemeriksaan maupun segala sesuatu yang diceritakan oleh pasien tersebut dikenal sebagai rahasia kedokteran dan wajib disimpan. Ketentuan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 434 tahun 1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi para dokter Indonesia.
3. Notaris; Dalam proses peradilan pidana, notaris merahasiakan hal ikhwal terkait akta serta seluruh lainnya dimaksudkan sebagai pelindung terhadap kepentingan pihak yang termasuk dalam ruang lingkup akta. Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 16 ayat (1) huruf f yang menyebutkan” notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang”.
4. Advokat; Ditegaskan pada Pasal 19 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan bahwa “Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.”. Ayat ini menerangkan bahwa orang yang berprofesi sebagai advokat berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kliennya.
Orang yang karena alasan profesinya seperti yang diatas terikat untuk menjaga rahasia, dapat menolak memberikan kesaksian dalam persidangan. Namun hal ini juga ditentukan oleh hakim dengan mempertimbangkan pentingnya penolakan tersebut dengan melihat perkara yang sedang dipertimbangkan di pengadilan.
Kalau memang partisipasi yang bersangkutan sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan sebuah perkara dalam persidangan, maka dapat diminta dibebaskan dari kewajiban sesuai dengan Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penulis adalah Ketua Umum P3HI / Dosen Fakultas Hukum Uniska Banjarmasin
Kutipan dari siarpublik.com