Aspihani Berharap Jenderal Bersahaja yang Taat Ibadah dan Pola Hidup Sederhana, ke Kantor Naik MRT Kelak Menjabat sebagai Kapolda Kalsel atau Kalteng
Keterangan foto Brigjen Pol Dr. Drs. Yehu Wangsajaya, M Kom dan H. Aspihani Ideris Assegaf, S.AP, SH, MH
Oleh: Aspihani Assegaf
Sebelumnya saya menerangkan pengertian dari MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit, yaitu sistem transportasi umum atau kereta api bawah tanah yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar dengan cepat dan efisien di kota-kota besar.
Pada awalnya tanpa sengaja bertemu dengan sahabat saya di sebuah restoran Megaria Metropol tempat Restoran – Jakarta, Amus Besan, ia seorang advokat senior yang sangat santun dan murah hati dari Ambon.
Tidak berselang waktu, disaat pertemuan saya tersebut dengan Advokat Amus Besan, datang lah seorang laki-laki berwajah tampan menyapa Amus Besan, ternyata laki-laki berjaket kulit hitam itu adalah seorang Jenderal bintang satu yang saat ini menjabat sebagai Analis Kebijakan Utama Jemen Itwasum Polri.
Saya sempat bertanya kepada sahabat saya Amus Besan, beliau ini siapa? Seorang Advokat juga kah? Nggak jawab Amus, dia seorang Jenderal Bintang Satu yang sekarang ini bertugas di Mabes Polri. Nama beliau adalah Brigjen Pol Dr. Drs. Yehu Wangsajaya, M Kom, Jenderal pertama dan satu-satunya di Indonesia saat ini yang bergelar Master Komputer, sebut Amus.
Amus Besan adalah seorang Advokat/ Pengacara asal Ambon dan lahir berprofesi di Organisasi Advokat P3HI serta menjabat sebagai Ketua DPD P3HI Ambon masa bakti 2024-2028.
Saya sangat terkejut dan juga merasa mendapatkan sebuah kehormatan dapat bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang Jenderal penting dan Briliant di sebuah restoran ini. Bicaranya sangat ramah dan sopan santun.
Jenderal Yehu bertanya kepada saya, saudara asal mana, lantas saya jawab ‘saya asal Kalimantan, tinggal di Pal 7 Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan’.
“Saya sangat mengenal Kalsel, Pal 7 itu ada pasar Minggu kan? Rame di sana pasarnya hari Minggu banyak orang joging pagi hari Minggu disananya, sampingnya kantor Polsek” ucap Jenderal Yehu yang langsung saya iyakan, benar pak Jenderal.
Penjang lebar pada perbincangan santai ini, Jenderal Yehu bercerita mengenai awal kariernya dalam bertugas di institusi kepolisian tersebut. berkecimpung di lalu lintas. “Saya tahun 90an berkecimpung di lalu lintas, saya pernah menjabat Kasat Lantas di Polres Banjar Polda Kalselteng waktu itu, setelah menjadi Kasat Lantas Polres Kapuas Polda Kalselteng, makanya saya hafal Kalsel itu. Saya juga sering jalan-jalan sampai ke itu tuh gunung, saya berteman baik dulu dengan seorang pengusaha, namanya beliau Haji Rahmad orang Madura beliau tuh, namun beliau sangat baik orangnya” ceritanya.
Jenderal Yehu juga menyebut kenal baik dengan salah satu tokoh Madura di sana, namun dia lupa namanya, langsun saya sebutkan “Ooooh itu? Itu pak Haji Mansyur, beliau itu tokoh Madura yang paling dermawan, beliau panutan masyarakat disana, dalam setahun saja ratusan warga muslim di berangkatnya umrah ke tanah suci Mekkah,” sebut saja.
Lantas Jenderal Yehu membenarkan, “Ya itu beliau, saya kenal baik juga dengan pak Haji Mansyur tersebut, pengusaha batu bara kan?, kata Jenderal Yehu. “Ya benar pak Jenderal, bahkan sekarang ini Bupati Banjar anak kandung pak Haji Mansyur,” jawabku. Nama anak beliau adalah H. Saidi Mansyur, S.I.Kom, alumni Uniska tempat saya juga ngajar disana, Oooh jawab Jenderal Yehu sambil mengangguk-angguk. “Pak Aspihani dosen ya, jawabku “Siap pak Jenderal, saya ngajar di fakultas hukum di Uniska,”. Saya juga dulu sering pengamanan di tempat pengajian Abah Guru Sekumpul, atau Tuan Guru Sekumpul yang nama asli beliau Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari, adalah salah seorang ulama yang populer di Martapura, Kalimantan Selatan.
Disaat Brigjen Pol Yehu Wangsajaya mendatangi Megaria Metropol tempat Restoran dan Caffe tersebut beliau habis dari ibadah naik angkutan umum, hal demikian menandakan kehidupan beliau sangat bersahaja, bahkan berangkat kerja pun beliau naik MRT. Makanya di kalangan netizen beliau terkenal sebagai Jenderal Bersahaja, beliau aktif di Youtube; Instagram; Facebook dan aplikasi lainnya.
Tanpa terasa perbincangan tersebut menyita waktu sampai satu jam lebih, dan sebelum pulang, sang Jenderal menyampaikan bahwa ia bersahabat baik dengan Advokat Amus Besan, sejak dulu sampai sekarang. Kalau mau komunikasi dengan saya, bisa saja lewat saudaraku Amus Besan ini, lantas sang Jenderal langsung permisi pamit mau pulang, jawab saya siap dan silakan serta saya sangat berterimakasih dapat ngobrol panjang lebar berama sang Jenderal yang murah hati ini. lalu pak Jenderal permisi salaman dengan saya langsung ke bawah ditemani oleh Advokat Amus Besan mau pulang kerumahnya.
Bagi saya, mengharapkan Kepala Polisi Daerah Kalsel atau Tengah memiliki sifat yang ramah dengan kehidupan yang bersahaja seperti Brigjen Pol Yehu Wangsajaya tersebut.
“Semoga saja beliau disaat mutasi jabatan dapat menjabat sebagai Kapolda Kalsel atau Tengah berikutnya,” harap Aspihani yang merupakan tokoh aktivis LSM Kalsel ini.
Brigjen Pol Yehu Wangsajaya lahir di Cianjur, Jawa Barat dan saat ini berusia 56 tahun dan merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) pada 1989.
Mengutip dari Tribunnews.com, sosok Jenderal Bintang Satu yang akrab disapa Yehu ini menjadi salah satu perwira tinggi Polri yang banyak berkontribusi dalam perkembangan teknologi di kepolisian.
Sebelum menjabat sebagai seorang analis kebijakan, Yehu Wangsajaya adalah seorang isnspirator Traffic Management Center dan pernah menjabat sebagai Kasatlantas di Kalimatan Selatan dan Tengah, dirinya juga pernah menjabat selaku Kasatlantas di Jakarta Pusat.
Yehu merupakan sosok yang membangun sistem ujian SIM berbasis komputer pertama di Indonesia saat menjabat sebagai Wakasat Lantas Poltabes Medan Polda Sumut.
Ide tersebut kemudian ia ajukan kepada atasannya dan mendapatkan persetujuan lalu diresmikan.
Latar belakang Yehu membangun aplikasian komputerisasi untuk ujian teori SIM pertama di Indonesia itu karena dirinya mendapatkan keluhan dari salah seorang mahasiswa yang melakukan ujian teori SIM. Akan tetapi kata Brigjen Pol Yehu Wangsajaya, mahasiswa itu tidak pernah lulus ujian, karena tidak membayar uang komando alias pungli.
Setelah sistem ujian SIM berbasis komputer tersebut berhasil, Yehu kemudian di tarik ke Mabes Polri untuk membantu membangun Aplikasi Riwayat Hidup Personil Polri atau RHPP pada 2011. Disini Yehu dan teamnya menemukan 13.000 NRP (Nomor Registrasi Polisi) yang ganda, dimana NRP kopral bisa sama dengan jenderal.
Keahlian Yehu dalam bidang teknologi ternyata ia dapatkan saat dirinya melanjutkan pendidikan di bidang Ilmu Komputer dan memperoleh gelar magister pada 2006 lalu.
Perolehan gelarnya ini yang kemudian ia terapkan pada teknologi Polri hingga dirinya didapuk sebagai salah satu perwira tinggi yang banyak berkontribusi dalam perkembangan teknologi Polri saat ini.
Prestasi membanggakan Yehu tidak sebatas itu saja, saat dirinya menjabat sebagai Wakapoltabes di Manado, Yehu pernah membuat quick response Police yaitu dibawah 10 menit ketika ditelepon masyarakat, Polisi sudah datang. Tidak seperti sekarang ditelepon nyahut tapi Polisinya tidak pernah datang menolong.
Bermula saat dirinya dan Kapoltabes diminta oleh Kapolda Sulawesi Utara saat itu, Jenderal Bekto Suprapto untuk membuat quick response Time Police yaitu dibawah 10 menit. Dirinya ditantang dengan 10 sepeda motor yang nantinya akan digunakan untuk patroli dan mendatangi masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Ia dan Kapoltabes kemudian membentuk tim patroli yang bisa merespon dengan cepat kebutuhan masyarakat.
Ia dan Kapoltabes kemudian membentuk tim patroli yang bisa merespon dengan cepat kebutuhan masyarakat.
Yehu mengklaim quick response mereka saat itu bisa mendatangi TKP hanya dalam waktu 5-10 menit saja. Akibatnya masyarakat sangat puas dan percaya dengan kinerja Polri, akhirnya banyak masyrakat yang menghibahkan sepeda motor baru sampai terkumpul sejumlah 253 unit sepeda motor selama setahun.
Atas keberhasilannya itu, Yehu memecahkan rekor saat bertugas sebagai Wakapolrestabes Manado tahun 2006-2007. Semua Direktur Samapta seluruh Polda seindonesia diperintah Kapolri Jenderal Bambang Hendarso (mantan Kapolda Kalsel) untuk belajar ke Manado, namun hal yang dibuat Yehu tidak bisa diciptakan ulang di Polda lainnya sampai saat ini.
Yehu Wangsajaya bahkan pernah diundang ke Korea Selatan karena berhasil menciptakan Panic Button.
Nama Brigjen Pol Yehu Wangsajaya belakangan ramai diperbincangkan lantaran dikenal sebagai sosok jenderal bintang satu yang hidup bersahaja dan sederhana.
Berbeda dengan jenderal kepolisian pada umumnya, Yehu jauh dari kata sosok petinggi polisi yang hidup mewah dan hedon.
Saking sederhananya, Brigjen Pol Yehu Wangsajaya sangat senang menaiki angkutan umum dibandingkan menggunakan mobil pribadi saat berangkat ke kantor.
Saat berangkat ke kantor, ia memilih menggunakan angkutan umum TransJakarta dan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta.
Kebiasaan Yehu menggunakan transportasi umum ini telah ia lakukan sejak menempuh pendidikan di Jepang dan Amerika Serikat (AS).
Alasan Yehu lebih memilih menggunakan transportasi angkutan umum karena dinilai lebih mudah, cepat, dan tidak mengalami macet selain itu bisa merasakan bagaimana jadi masyarakat biasa.
Brigjen Pol Yehu bahkan tidak suka dikawal atau menikmati fasilitas kepolisian.
Selama 10 tahun naik transportasi umum, Yehu mengaku tidak pernah mendapatkan ancaman.
Kesederhanaan yang ditampilkan oleh Yehu ini yang kemudian membuat dirinya menjadi kandidat penerima Hoegeng Awards 2023.
Hoegeng Awards sendiri adalah sebuah program yang diselenggarakan untuk mencari sosok anggota polri yang baik dan inspiratif.
Nama Brigjen Pol Yehu Wangsajaya diusulkan atau didaftarkan oleh pria berusia 47 tahun bernama Hambali.
Hambali mengaku mengusulkan nama Brigjen Pol Yehu Wangsajaya karena menurutnya polisi dengan pangkat bintang satu itu merupakan polisi yang humble dan sederhana.
Berkenaan dengan hal tersebut, publik kini semakin penasaran dengan sosok Brigjen Pol Yehu Wangsajaya.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Pemerhati Tambang dan Korupsi (PETAK)
Editorial: Bhani